CASSIOPEIA

 

Terbanglah lara walau ia bergejolak
Sempitkan waktu yang semakin membelalak215770_4442711939294_46029071_n
Tinggallah aku yang menjadi rentan
Terkesima sejawat dalam indah balutan

Lengang menitahkan mentari kemudian memerah
Ada hangat canda yang mengehempas gerah
Lalu kita tenang diatas satu cawan pasundan
Lalu kita langgeng terpikat pada potret ingatan

Cassiopeia melintas, rona pun menggelap
Ia terang, seperti kita terjaga ataupun terlelap
Menatap masa depan, meniadakan kekosongan
Seperti rintik disini, berarak mimpi menggairahkan

Posted in Puisi, Puisi Alam, Puisi Sosial | Tagged , , , , , | Leave a comment

Senawat Jagat


eye-in-the-sky

Kenapa para matahari tegak dengan mimpinya masing – masing?
Adapun iba yang membura, jika tahu mereka akan suram
Kecuali pilar yang bertahta, di benak, di arahku mengakui langit
Aku tak mengharap itu distorsi, hanya lirih mendengarnya mendebu
Menderu pilu, jika ada yang lain berporos bumi. Menjadi hilang
Jika konstelasi yang lain menampakkan hayati, terkungkung gatra.
Durja ketika berkawan awan, namun ia mendung tersapu
Pendar barat. Padahal hujannya menyegarkan, meninggigilkan  

Kualitas duduk, dengan menceburkan pada hegemoni, menawan
Rantingnya, menghijaukan dedaunan, namun hanya sejauh ardi.

Di tanah biru, mataharimu menanggalkan zirah, masihkah kirana?
Ataukah derap langkah serabutan berbopeng nanah kau sebut
Perangsang bungah? Lihatmu dimana? Kau tetap mematung 
Lantaran kau tak tahu itu pseudo. Baitmu menampilkan
Perhiasan, meregang darah yang kau sebut pereda. Hambar yang
Tertinggal jika tetap mematri. Karena yang kau topang sebagai substansi 
Matahari tak menyajikan apapun setelah langit dan tanah saling
Menggulung. Kau kemanakan wahai mahkota mu, sedikit dapat
Kau bawahkan ladang supra-kapital bersimpuh, kemudian bersorai
Menari pelik berbajukan cekikan cipai terbungkus muslihat

 

Posted in Uncategorized | Tagged , , , , | Leave a comment

Bikara – Part 2 (Kelam)

Pagi itu layaknya air hening dalam gelas yang jernih. Menjanjikan kesegaran pada siapa saja yang meneguknya. Terlebih bergulir di bulan Ramadhan ia. Akupun demikian. Tak ingin melewatkan satu denyutpun nadi dimana darah ini mengangkut kesegaran oksigen yang bertumpah. Lebih dari itu, aku memang sedari malam menantikan saat ini. Bukan hanya kesegaran paginya yang penuh gradasi, melainkan karena dorongan diri untuk melangkah ke kampus.

Langkahku ke kampus awalnya penuh keterpaksaan. Keterpaksaan karena harus mengurus transkrip nilai untuk mengajukan izin magang guna lulus mata kuliah work experience. Kemudian menanyakan progress skripsi kepada Bu Rahayu lantaran dua bulan belakangan ini tidak ada kabar. Pikiran itu perlahan kukikiskan. Aku tahu aku telat satu semester mengambil dkelam2ua mata kuliah tersisa ini. Dua mata kuliah final, seperti raja terakhir pada dunia game, jika berhasil menuntaskan, maka tamat digenggaman. Sayangnya, pikiranku saat ini didominasi oleh kesendirian dalam berkelana. Semua ku kerjakan sendiri, tapi itu bukan berarti aku tak berkawan. Aku memiliki diriku yang membenam dalam pada gelombang theta yang kujadikan ia penyemangat. Kemudian menjadikan diriku yang menyeluruh sebagai penakluk dua mata kuliah ini, layaknya Nero yang mengalahkan False Saviour di game Devil May Cry

Singkat kata, kampusku berada dalam beberapa hitungan mundur setelah satu jam berkendarakan TransJakarta. Aku melenggang sambil menahan rasa dahaga yang mulai menyengat saat menyusuri rute halte yang sedikit meliuk ini. Rasanya setiap tanjakan melipatgandakan dahagaku, bersamaan dengan rasa lapar yang sedikit demi sedikit timbul. “Ah, mungkin itu faedah yang lain” harapku sambil mengoceh dalam hati.

Waktu pun tak terasa lewat sekitar dua jam. Ku curi pandang kearah jam dinding yang bertengger di ruangan administrasi fakultas bahasa dan seni, “sudah jam 11 aja, ga terasa”. Tak terasa lalu – lalangku mengurus kertas “surat permohonan cetak pra-transkirp”  menelan waktu sebanyak ini. “Agak repot juga” lirihku. Tapi beruntungnya, surat permohonan ini bisa komplit dengan tanda tangan tiga orang penting dalam waktu dua jam saja, yakni Kepala Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Kepala Bagian Akademik Fakultas Bahasa dan Seni, serta yang terpenting, aku sendiri sebagai pemohon.

Kubawa kertas permohonan ini ke BAAK, yakni sebuah kantor pelayanan akademik tingkat Universitas yang gedungnya terletak lumayan jauh, tapi tetap bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tanpa pikir panjang, kusambangi loket yang bertuliskan FBS, dan langsung to the point ku katakan. “Bu saya mau cetak transkrip

Tret.. tret teret… tret…” bunyi mesin tua yang sedang mencetak transkrip ku. 

Kuterima dua bundel kertas bertuliskan nilai – nilai matakuliahku dari semester awal hingga semester delapan kemarin. “Ah sial, 2.80. Ternyata belum tembus tiga koma IP ku”, gumamku.

****

“Universitas Negeri Jakarta, jurusan Bahasa dan Sastra Inggris,  gue lolos SPMB mennn!!!” teriakku berlari dari sekretariat musholah ke kerumunan teman – teman sekelasku di lantai dua. Kebetulan memang saat itu hanya ruang sekretariat musolah yang bisa internetan, jadi ya lihat pengumumannya disini, walau harus rela mengantri. Seketika teman – temanku yang mendengar kalimat membahana ini merangkulku dengan bangga. Tidak hanya itu, ada yang menjitak, ada yang usap – usap kepala, hingga ada yang memberikan ucapan selamat dengan berjabat tangan.

Waktu berlalu satu tahun. Ternyata kuliah disini tidak berjalan mudah seperti yang kubayangkan. Jurusan sih boleh, Bahasa dan Sastra Inggris, yang notabennya jurusan terfavorit dan tertinggi passing gradenya se-UNJ. Tapi, dengan kemampuan Bahasa Inggrisku yang dibawah rata – rata, ditambah kesenangan pribadiku yang cenderung suka kongkow – kongkow, berorganisasi, main bola, pacaran, dan main DotA ketimbang serius belajar, membuat diriku harus puas dengan IPK dibawah 2.3 dalam dua semester pertama.

Bicar soal mata kuliah, sudah pasti jangan ditanya, selalu pasti ada satu atau dua mata kuliah yang akan menjadi deja vu di semester selanjutnya. Katakanlah, English Grammar, Speaking, Writing, Listening, Introduction to Research, Functional Grammar, Contemporary British Society, History of English Literature, Semantics and Pragmatics, Language Culture and Society, dan  Contrastive Analysis menjadi mata kuliah yang paling betah kuulang.

Sementara soal teman, aku akui aku adalah pribadi yang atraktif. Namun itu hanya awalan saja, selebihnya entahlah, sudah luntur. Di awal ku masuk sebagai freshman, naluriku cenderung untuk tampil sebagai pusat perhatian, kenal banyak pribadi, serta merasa nyaman jika berada pada keramaian. Dua semester awal, aku sangat aktif pada kegiatan kemahasiswaan mulai dari teater, kepemimpinan, tim futsal jurusan, kegiatan sosial, hingga pacaran. Di dua tahun berikutnya, aku bahkan sempat kelamditunjuk sebagai ketua teater jurusan. Disitu aku memiliki banyak teman, dan tentunya dengan berbagai karakter yang unik. Ada Sholeh, Aryo, Zilman, Amel, Cipta dan Aga, para aktor yang melegenda, serta Raymond, Fachri, Nadi, Ilham, Japra, Fakhran, Azis, yang berdiri di deretan senior. Kemudian ada juga Joe, Aday, Faizah, Dewi, Nova, Avi, Ghozi yang juga terlahir sebagai actor berbakat pada freshman setelahku.

Namun sayang lagi sayang. Guntur yang menggelegar tak bisa terelakkan. Perpecahan terjadi dan memaksa kita sempat bercerai – berai. Entahlah apa penyebabnya, mungkin saja karena tidak ada kegiatan yang berjalan baik. Lantas, aku yang ditunjuk sebagai ketua sempat mangkir dari jabatan, dan membiarkan organisasi ini vakum hampir satu tahun. Imaji ku runtuh, pride ku menghilang, jati diriku terbang terkoyak. Aku kehilangan muka bertegur sapa dengan mereka. Hingga bakatku diam – diam kupendam.

Aku malu, terlebih pada masyarakat seantero jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Terlebih sempat seorang kolegaku berkata lirih, namun tusukannya membekukan waktu, “gw kecewa sama lu. Tabiat lu yang lari dari tanggung jawab ini, pengecut banget. Akan berat buat lu nanti mendapatkan kepercayaan lagi dari orang – orang sekitar. Itu lebih dari sekedar tamparan. Mulai dari situlah aku sedikit demi sedikit menjauh dari tongkrongan. Terlebih aku tidak bisa mengimbangi candaan mereka. “Kita berbeda“, pikirku. “Silaturahhami tetap berjalan, walau hanya tegur sapa sekedarnya saja, tidak terlalu intim”.

Dan mungkin inilah, aku menjadi agak tidak bisa memfokuskan pada perkuliahan. Aku menjadi canggung untuk berinteraksi layaknya sesama mahasiswa. Berdiskusi dan bertukar pengetahuan agaknya jarang kudapat lantaran kepercayaan diriku yang hilang terbenam. Aku menjadi sedikit malas, setelahnya.

Posted in Bikara, Prosa, Prosa Berkelanjutan | Tagged , , , , | Leave a comment

Adara

adara

Beginikah pesona yang akan tersibak?
Anggap saja tahun kita melesat lebih jauh
Tiga atau empat hitungan kelak
Kutangkap suaramu yang lunak
Kemudian kubalas dengan rayuan sedap

Aku menanti, tapi juga mengejar cintamu sungguh
Tahukah, sempat kusisipkan namamu dibalik munajat
Pada malam, pada lengangnya hingar
Sebutku Muhaimi, harapku akan hadiah seribu bulan
Bintangpun mengkonstelasikan wajahmu
Begitu halus dengan kelipnya

Malam pun luluh, menganak sungai dari ketiga mataku
Kau akan layak, dipelukku berdua saja
Lalu kita akan bersinar mengalahkan Sirius
Lebih tegas dari Antares, kemudian
Berpendar cahaya saat kita saling bersentuh
Bercurah canda, saat kita tertawa mesra

Dan ingatkah?
Saat mata kita bertabrakan pada satu titik temu
Untuk pertama kali, dan aku bertaruh
Wajah kita berdua saat itu memerah

Posted in Puisi, Puisi Cinta | Tagged , , , , | Leave a comment

Malaikat Kecil itu Tersenyum

Seperti biasa, kota metropolitan di sore hari selalu ramai dengan hingar – bingar kesibukan manusia. Sebagian besar mereka tetap terleka oleh rutinitas kebendaan. Perniagaan masih bertaburan. Terlihat dari aktivitas tawar – menawar yang masih memegang supremasi. Seperti halnya kesenangan, ia menyejukkan mata siapa saja yang dikehendakinya untuk merasa enggan memenuhi panggilan sang pencipta. Sejalan juga dengan urusan yang masih merangkul sibuknya aktivitas. Intuisi sebagian besar dari mereka difokuskan untuk cepat – cepat menyudahinya, walau nantinya agak sedikit terlambat, atau bahkan terlewat.

Keadaan yang tak jauh beda membenam pada diri ibu – ibu separuh baya. Ia tak kuasa menghentikan perjalannya yang menggunakan angkutan umum. Hemat kata, agar ongkosnya tidak terlalu terbuang banyak. Di takarnya waktu perjalanan itu, sambil sesekali melemparkan pandangan keluar jendela metromini yang dinaikinya. “30 menit mungkin” harapnya pada laju metromini yang kadang memperpanjang rentang waktunya karena sesekali ngetem mencari sewa

Diluar jendela, dilihatnya keramaian yang merupakan biasa. Tepatnya saat terjebak pada kemacetan di Fatmawati. Pikirannya yang bergilir secara acak jatuh pada pertanyaan ‘apa mereka tidak mendengarnya ya?’ Ditujukannya pandangan itu secara detil kepada pedagang asongan, pengamen, anak sekolahan, karyawan, pedagang kaki lima, pengemudi, hingga bos – bos kece. ‘Ah, mungkin karena waktunya masih panjang’, besitnya sekilas.

Meleset perhitungannya, satu jam waktunya termakan buasnya kemacetan. Ibu – ibu ini menggeser sedikit waktu janjiannya. Sedikit sih, sekitar 10 menit ditambah 30 menit waktu ngaretnya.

Keringat mulai mencampuri keelokan motif batik serat kayu coklat khas ala Madura di gamisnya. Tapi, kucurannya sejalan dengan derap langkah cepatnya. Ditemuinyalah sebuah masjid tidak terlalu tua, juga tidak terlalu bagus. Ia bereskan sepatu berbentuk slop hitamnya, dan segera mengambil air wudhu. Dibawanya tas slempang kulit warna hitam dan diletakkan tak jauh dari tempat ia sujud. Kemudian segera ia ambil mukena secar acak pada tumpukannya di lemari pojok.

Kini ia sudah pasrah pada ibadahnya, tulus tujuannnya hanya kepada ilahi. Komat – kamit mulutnya membaca niat, kemudian melayangkan kedua tangannya sambil berbisik “Allahuakbar” . Hening, kemudian secara sistematis ia menjalankan tata caranya seperti yang pertama kali ia diajari oleh gurunya saat waktu sekolah dasar.

Tiba – tiba, ‘whuzzz..!!!’ anak kecil perempuan lewat didepan tempat sujudnya. Dalam hati ingin dia batalkan niatnya dan memarahi habis – habisan anak kecil ini. Sudah disiapkan kata – kata makian yang tepat dihatinya, mulai dari ‘ga pernah diajarin orang tuanya ya!‘ , atau ‘tau ga sih orang lagi sholat?!

nama bayi laki laki muslimSeketika istighfar ia, dan memfokuskan kembali pada tempat sujudnya. Tetap dilanjutkan sistematika gerakan dan bacaannya secara berurutan, kali ini lebih khidmat. Hingga sampai di penghujungnya, yakni salam.

Beristighfar ia dalam doanya, memohon ampun, serta memanjatkan hajatnya diwaktu sore. Panjang kata – kata yang dirangkainya. Seketika ia terperanjat pada simpuhnya, dia merasakan sesuatu. Ada belaian lembut yang mengusap punggungnya. Seperti layaknya tangan kecil yang mungil. Di tolehnya pandangan kebelakang. ‘Subhanallah!’ sahutnya. Anak laki – laki kecil tampan, putih, bercahaya, serta lucu berdiri dihadapannya. Pakaiannya putih berbaju koko, berpeci, serta mengenakan celana panjang. Tak lama ibu – ibu ini tercengang, diusapkannya tangan kecil itu di wajah si ibu ini berulang kali. Berulang kali pula, sampai si ibu ini menitikkan air mata. Dan tetap saja tangan itu tak mau mengelak.

Subhanallah, anak siapa ini ganteng banget’ tanya si ibu dalam hati. ‘kamu namanya siapa nak?’, tanyanya langsung kepada anak itu. Tapi si anak tidak menjawab dan hanya tersenyum. Dipeluknyalah anak ini, dan herannya ia mau dipeluk dan tidak berontak, begitu pula saat ia dicium. ‘Seandainya saja aku punya cucu dari anak sulungku seperti dia, pastilah menyejukkan mata’ lirihnya dalam hati.

Tak lama anak itu pergi. Membaur dengan teman – temannya yang sedang belajar mengaji di ruangan yang berbeda. Si ibu tetap berdoa dan merintih agar diberikan juga cucu seperti anak kecil tadi. Selesainya berdoa, dicarinyalah anak kecil tadi, namun sayang, ia terlalu membaur  dengan sesamanya sehingga si ibu tidak bisa mengenalinya. Walaupun demikin, senyum manisnya tadi tidak pernah hilang.

Posted in Cerita Pendek, Cinta, lain - lain, sosial | Tagged , , , , | Leave a comment

BIKARA – PART I (Bersua Sang Penunjuk Jalan)

Resah, itulah yang kalian akan, sedang, dan sudah rasakan saat mengetahui bahwa teman – teman seangkatan kalian banyak yang telah lebih dulu mengepakkan sayap. Istilah bahasa jawanya ‘wes mentas‘, alias sudah langsung berhadapan dengan alam bebas, sudah mengaplikasikan ilmu yang telah didapat pada dunia nyata, dan tentu saja sudah pasti bergantung pada diri sendiri.

man-sitting-by-campfire-on-beach-at-night-200573358-001

Sebagian dari rekan seangkatanku akan terbang semester ini. Beberapa mereka mereka juga sudah terbang di semester yang lalu. Semester depan, pikirku aku akan masuk tergabung dalam himpunan mahasiswa minoritas yang isinya adalah gabungan dari mahasiswa IPK pas – pasan, mahasiswa sering ngulang, mahasiswa doyan cuti, mahasiswa mentok skripsi, dan mahasiswa paling senior.

Itulah yang aku rasakan. Di sebuah kelas yang dingin, bukan karena atmosfer udaranya, melainkan karena keengganan diriku menerima ilmu yang sebenarnya berupa deja-vu. ‘Introduction to Research’, terkemas menantang dan menarik didalam ruang kelas terbesar se-jurusan ini. Dekorasi elegan dengan dua rak buku berkoleksikan literatur -literatur tua yang mengapit whiteboard di sisi depan, dan dua lagi berdiri angkuh sudut paling belakang, kemudian dominasi warna coklat yang entahlah mungkin terbias dari tembok penyangga dari kayu jati, semakin memberikan kesan nyaman bagi siapa saja yang menghuni tempat ini untuk mendulang ilmu.  Tapi itu hanya berlaku pada adik – adik kelas, yang entah kenapa aku dipaksa satu ruangan bersama mereka. Mereka terlihat menikmati setiap detil frasa yang dilontarkan dosen impor dari Australia ini. Sementara diriku hanya mengangguk, memainkan apa saja disekitar untuk diputar, entah pulpen, binder, atau foto kopian modul. Sesekali aku mengejamkan mata, berharap waktu melesat cepat saat pemandangan menjadi gelap.

Dubidas, dubidos, muncascos, mucascas’ demikian kalimat penutup yang amat kunantikan. Kalimat terakhir yang masuk kedalam sistematika pengajaran si bule ini, menjadikan hari – hari sedikit lebih merona dari biasanya.

Waktu menunjukkan pukul 11.40, aku meninggalkan ruangan ini dan menyaksikan hal yang biasa berkenaan dengan hiruk pikuk mahasiswa yang memadati setiap lorong dari gedung tua ini, walaupun sejatinya hanya memiliki tiga lorong, yakni dua diatas dan satu dibawah. Seperti biasa juga, aku berjalan menyeberangi kerumunan, dengan tanpa banyak tegur sapa walau beberapa diantara mereka aku mengenalnya, yang juga sebagian besar adalah adik kelas. Aku hanya mengulang sepatah kata, kalau tidak ‘permisi’ ya ‘maaf’ saat jalanku sedikit terhalang.

Kali ini tujuanku adalah ruang dosen. Niat utamaku adalah menjaring satu pembimbing untuk rencana skripsiku yang akan kuambil semester depan. Dan yak.. setelah menghadapi berbagai macam penolakan dari berbagai jenis dosen, akhirnya ada juga yang mau menampungku. Bu Rahayu Purbasari, atau yang dikenal mahasiswa sebagai bu ‘Kaprog’ (Kepala Program Study), duduk penuh aura dibalik tumpukan buku, dokumen, kertas fotokopian, dan laporan magang. Dibalik laptop lenovo hitamnya wajahnya didominasi oleh kesan dingin, namun tetap harus katakan karena inilah satu – satunya opsi terakhirku.

“Kamu bisa ikut proyek ibu untuk skripsimu, kalau kamu mau”, ujarnya penuh kepastian. Terlebih untuk meyakinkan bahwa masa depan skripsiku aman di bawah sentuhan dinginnya. “Kamu bisa ajak teman – temanmu kalau kamu mau”

“Olrait mam!”, jawabku sambil menuliskan nama lengkap beserta nomer registrasi di buku keremat beliau.

Itulah momen – momen yang sedikit membuatku lega. Sedikit saja, seperti perbandingan antara kaki gunung dengan puncaknya. Masih banyak batu cadas, tanjakan terjal, ranting pohon lebat, dan udara dingin yang siap menghadang kapan saja sebelum akhirnya menginjakkan kaki di tanah tertingginya.

Tak banyak pertimbangan, langsung saja ku tarik secara acak seorang mahasiswa yang mungkin mengambil skripsi semester depan. Nindya, dia seharusnya satu tingkat diatasku, tapi NIM nya menunjukkan bahwa dia adalah adik kelasku setahun. Perempuan yang terlihat lebih muda dari umur sebenarnya ini akhirnya mau kubujuk untuk mengikuti proyek yang ditawarkan bu Rahayu. Dengan stelan cardigan hitam, celana legging denim stretch warna pink, serta seperti sepatu sneakers keluaran nike dengan perpaduan coklat dan pink, dia melenggang penuh gairah menuju ke ruang dosen.

‘Mam, ini Nindya katanya mau ikut proyeknya mam”, perkenalku kepada perempuan sekitar 45 tahunan yang sudah resmi menjadi pembimbing skripsi ku.

“Ok. langsung tulis saja di buku itu”, pintanya sambil tetap fokus pada pekerjaannya di lenovo kesayangannya.

Akhirnya, “dia mungkin bisa jadi rekan yang sangat membantu pada saat skripsi nanti”. Gumamku dalam hati. Aku berharap rekan – rekan seproyekku nanti seantusias dia. Masih ada tiga orang lagi kalau dihitung – hitung sebelum akhirnya pas, proyek ini berjalan.

Dan mulai detik ini, aku ikrarkan dalam hati, aku siap menghadapi segala macam tantangan yang ada didepan. Tekadku bulat, dan jelas, sejelas wajah kedua orang tuaku tergambar, dan suara ‘omelannya‘ yang khas saat tau anaknya terlambat lulus.

Posted in Bikara, Prosa, Prosa Berkelanjutan | Tagged , , , , | Leave a comment

Orion

Tanpa bersuaraOrion
Aku duduk menyambut mahakarya malam yang cemerlang
Tersapu dingin yang harapku adalah sutera
Lentera surga yang indah menjelang
Cerahkan suram yang mendengus
Yang telah membekas sejak hingar – bingar siang
Harapku hanya
Lebih kepada menyudahi kesepian diri

Bulan ini Orion lah yang meraja
Tak jenuhnya ku pandangi berlian megah
Menantang nalar yang jelas lemah
Melayangkan kekaguman akan konstelasi yang gagah
Hingga lelah, hingga manja mata
Kubiarkan cahayanya jatuh vertikal

Betelgeuse, Rigel, Canis Majoris
Kau begitu indah dengan sabuk itu
Berselingan nebula yang kutahu ia mengintip dibelakangmu
Kau kikiskan logika, tergadai, kemudian tancapkan rona iman
Aku hanya bisa duduk, wajahku sejuk
Cahayamu meredup, tapi jantungku tak henti berdegup
Tertelan fajar, hingga kembali setelah satu putaran bumi

Posted in Puisi, Puisi Alam | Leave a comment