Pagi itu layaknya air hening dalam gelas yang jernih. Menjanjikan kesegaran pada siapa saja yang meneguknya. Terlebih bergulir di bulan Ramadhan ia. Akupun demikian. Tak ingin melewatkan satu denyutpun nadi dimana darah ini mengangkut kesegaran oksigen yang bertumpah. Lebih dari itu, aku memang sedari malam menantikan saat ini. Bukan hanya kesegaran paginya yang penuh gradasi, melainkan karena dorongan diri untuk melangkah ke kampus.
Langkahku ke kampus awalnya penuh keterpaksaan. Keterpaksaan karena harus mengurus transkrip nilai untuk mengajukan izin magang guna lulus mata kuliah work experience. Kemudian menanyakan progress skripsi kepada Bu Rahayu lantaran dua bulan belakangan ini tidak ada kabar. Pikiran itu perlahan kukikiskan. Aku tahu aku telat satu semester mengambil dua mata kuliah tersisa ini. Dua mata kuliah final, seperti raja terakhir pada dunia game, jika berhasil menuntaskan, maka tamat digenggaman. Sayangnya, pikiranku saat ini didominasi oleh kesendirian dalam berkelana. Semua ku kerjakan sendiri, tapi itu bukan berarti aku tak berkawan. Aku memiliki diriku yang membenam dalam pada gelombang theta yang kujadikan ia penyemangat. Kemudian menjadikan diriku yang menyeluruh sebagai penakluk dua mata kuliah ini, layaknya Nero yang mengalahkan False Saviour di game Devil May Cry
Singkat kata, kampusku berada dalam beberapa hitungan mundur setelah satu jam berkendarakan TransJakarta. Aku melenggang sambil menahan rasa dahaga yang mulai menyengat saat menyusuri rute halte yang sedikit meliuk ini. Rasanya setiap tanjakan melipatgandakan dahagaku, bersamaan dengan rasa lapar yang sedikit demi sedikit timbul. “Ah, mungkin itu faedah yang lain” harapku sambil mengoceh dalam hati.
Waktu pun tak terasa lewat sekitar dua jam. Ku curi pandang kearah jam dinding yang bertengger di ruangan administrasi fakultas bahasa dan seni, “sudah jam 11 aja, ga terasa”. Tak terasa lalu – lalangku mengurus kertas “surat permohonan cetak pra-transkirp” menelan waktu sebanyak ini. “Agak repot juga” lirihku. Tapi beruntungnya, surat permohonan ini bisa komplit dengan tanda tangan tiga orang penting dalam waktu dua jam saja, yakni Kepala Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Kepala Bagian Akademik Fakultas Bahasa dan Seni, serta yang terpenting, aku sendiri sebagai pemohon.
Kubawa kertas permohonan ini ke BAAK, yakni sebuah kantor pelayanan akademik tingkat Universitas yang gedungnya terletak lumayan jauh, tapi tetap bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tanpa pikir panjang, kusambangi loket yang bertuliskan FBS, dan langsung to the point ku katakan. “Bu saya mau cetak transkrip“
“Tret.. tret teret… tret…” bunyi mesin tua yang sedang mencetak transkrip ku.
Kuterima dua bundel kertas bertuliskan nilai – nilai matakuliahku dari semester awal hingga semester delapan kemarin. “Ah sial, 2.80. Ternyata belum tembus tiga koma IP ku”, gumamku.
****
“Universitas Negeri Jakarta, jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, gue lolos SPMB mennn!!!” teriakku berlari dari sekretariat musholah ke kerumunan teman – teman sekelasku di lantai dua. Kebetulan memang saat itu hanya ruang sekretariat musolah yang bisa internetan, jadi ya lihat pengumumannya disini, walau harus rela mengantri. Seketika teman – temanku yang mendengar kalimat membahana ini merangkulku dengan bangga. Tidak hanya itu, ada yang menjitak, ada yang usap – usap kepala, hingga ada yang memberikan ucapan selamat dengan berjabat tangan.
Waktu berlalu satu tahun. Ternyata kuliah disini tidak berjalan mudah seperti yang kubayangkan. Jurusan sih boleh, Bahasa dan Sastra Inggris, yang notabennya jurusan terfavorit dan tertinggi passing gradenya se-UNJ. Tapi, dengan kemampuan Bahasa Inggrisku yang dibawah rata – rata, ditambah kesenangan pribadiku yang cenderung suka kongkow – kongkow, berorganisasi, main bola, pacaran, dan main DotA ketimbang serius belajar, membuat diriku harus puas dengan IPK dibawah 2.3 dalam dua semester pertama.
Bicar soal mata kuliah, sudah pasti jangan ditanya, selalu pasti ada satu atau dua mata kuliah yang akan menjadi deja vu di semester selanjutnya. Katakanlah, English Grammar, Speaking, Writing, Listening, Introduction to Research, Functional Grammar, Contemporary British Society, History of English Literature, Semantics and Pragmatics, Language Culture and Society, dan Contrastive Analysis menjadi mata kuliah yang paling betah kuulang.
Sementara soal teman, aku akui aku adalah pribadi yang atraktif. Namun itu hanya awalan saja, selebihnya entahlah, sudah luntur. Di awal ku masuk sebagai freshman, naluriku cenderung untuk tampil sebagai pusat perhatian, kenal banyak pribadi, serta merasa nyaman jika berada pada keramaian. Dua semester awal, aku sangat aktif pada kegiatan kemahasiswaan mulai dari teater, kepemimpinan, tim futsal jurusan, kegiatan sosial, hingga pacaran. Di dua tahun berikutnya, aku bahkan sempat ditunjuk sebagai ketua teater jurusan. Disitu aku memiliki banyak teman, dan tentunya dengan berbagai karakter yang unik. Ada Sholeh, Aryo, Zilman, Amel, Cipta dan Aga, para aktor yang melegenda, serta Raymond, Fachri, Nadi, Ilham, Japra, Fakhran, Azis, yang berdiri di deretan senior. Kemudian ada juga Joe, Aday, Faizah, Dewi, Nova, Avi, Ghozi yang juga terlahir sebagai actor berbakat pada freshman setelahku.
Namun sayang lagi sayang. Guntur yang menggelegar tak bisa terelakkan. Perpecahan terjadi dan memaksa kita sempat bercerai – berai. Entahlah apa penyebabnya, mungkin saja karena tidak ada kegiatan yang berjalan baik. Lantas, aku yang ditunjuk sebagai ketua sempat mangkir dari jabatan, dan membiarkan organisasi ini vakum hampir satu tahun. Imaji ku runtuh, pride ku menghilang, jati diriku terbang terkoyak. Aku kehilangan muka bertegur sapa dengan mereka. Hingga bakatku diam – diam kupendam.
Aku malu, terlebih pada masyarakat seantero jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Terlebih sempat seorang kolegaku berkata lirih, namun tusukannya membekukan waktu, “gw kecewa sama lu. Tabiat lu yang lari dari tanggung jawab ini, pengecut banget. Akan berat buat lu nanti mendapatkan kepercayaan lagi dari orang – orang sekitar. Itu lebih dari sekedar tamparan. Mulai dari situlah aku sedikit demi sedikit menjauh dari tongkrongan. Terlebih aku tidak bisa mengimbangi candaan mereka. “Kita berbeda“, pikirku. “Silaturahhami tetap berjalan, walau hanya tegur sapa sekedarnya saja, tidak terlalu intim”.
Dan mungkin inilah, aku menjadi agak tidak bisa memfokuskan pada perkuliahan. Aku menjadi canggung untuk berinteraksi layaknya sesama mahasiswa. Berdiskusi dan bertukar pengetahuan agaknya jarang kudapat lantaran kepercayaan diriku yang hilang terbenam. Aku menjadi sedikit malas, setelahnya.